Perkembangan dunia kuliner Indonesia mendorong perkembangan usaha foto khusus makanan dan food photography.
Tak heran, banyak orang kemudian terjun ke bidang ini. Tugas utama
mereka adalah menghasilkan foto makanan yang mengundang air liur.
Air liur Anda menetes saat melihat iklan produk makanan di majalah?
Awas, Anda tengah berada dalam pengaruh “hipnotis” ilmu fotografi
makanan atau food photography.
Ya, menggiurkan atau tidaknya sebuah iklan makanan memang sangat
tergantung kualitas fotonya. Nah, fotografer makanan memiliki keahlian
khusus untuk menciptakan foto-foto makanan atau minuman yang menggugah
selera.
Seiring perkembangan zaman, jumlah fotografer yang menekuni food
photography ini terus bertambah. Maklum, permintaan pasar terus
meningkat. Mengerjakan foto iklan makanan hanya salah satu contoh proyek
yang digarap fotografer khusus ini. Ada segudang proyek lain yang biasa
mereka garap. Sebut saja foto menu restoran, foto kemasan produk
makanan atau minuman, foto katalog produk, foto resep untuk majalah, dan
masih banyak lagi.
Foodtograf adalah salah satu contoh usaha yang mengkhususkan diri dalam bidang food photography. Foodtograf menggandeng dua fotografer, yakni Himawan Sutanto dan Antonius Riva. Mereka juga menggandeng beberapa penata saji food stylist.
Maklum, fotografi makanan memang sering membutuhkan jasa penata saji
ini. “Target pasar kita adalah pelaku usaha kuliner,” ujar Tia Wongso,
pemilik Foodtograf.
Tia memasang tarif pemotretan mulai Rp 500.000 sampai Rp 5 juta per
paket. Ini belum termasuk bayaran untuk jasa food stylist. Dengan tarif
sebesar itu, Tia mengaku mengantongi omzet hingga Rp 40 juta per bulan.
Meski pasarnya masih terbatas di Jakarta, jumlah klien tetap Foodtograf
sudah mencapai sekitar 10 perusahaan.
Para pengguna jasa food photography juga mengenal nama
Iswanto Soerjanto. Fotografer ini sudah lama malang melintang di dunia
fotografi makanan di dalam maupun luar negeri. Selain berkiprah di
Indonesia, kini, Iswanto juga menjadi associate photographer The Looop International yang berbasis di Singapura.
Di luar foto menu, Iswanto sudah sangat banyak memiliki pengalaman memotret produk-produk makanan dan minuman kemasan.
Tentu saja, tarif pemotretan produk makanan dan minuman kemasan lebih
besar, mulai Rp 5 juta hingga Rp 20 juta per sesi. “Karena makanan
resto lebih sederhana dan menonjolkan food illustration, kalau makanan
kemasan merupakan ilustrasi produk, jadi produknya harus menonjol,
makanannya tidak,” ungkap Iswanto.
Pemain lainnya adalah Chandra Setyakusumah. Chandra yang berkecimpung
di bisnis pendukung kuliner membangun usaha foto makanan bersama
saudaranya dua tahun lalu di Bandung. Mereka mengibarkan bendera usaha
bernama Quantum Food.
Ide Chandra bermula saat melihat usaha kuliner berkembang pesat di
Kota Kembang. Dengan latar belakang pendidikan tata boga, Chandra
menggandeng Andrian yang kebetulan seorang fotografer. Quantum memasang
tarif Rp 750.000-Rp 7,5 juta per paket. Angka tersebut sangat tergantung
paket dan tingkat kesulitannya.
Dalam sebulan, Chandra bisa mendekap penghasilan dari usaha foto
makanan dan minuman sampai Rp 90 juta dari sekitar 25 pelanggan.
Pendapatannya bisa meningkat hingga 35% saat memasuki Natal, Tahun Baru,
dan hari raya besar lainnya. Pelanggannya banyak berasal dari pelaku
usaha kuliner di Bandung, Jakarta, dan Bali
Kepuasan klien menjadi kunci sukses usaha food photography ini. Karena itu, para fotografer harus selalu mengasah keahlian maupun kreativitas mereka.
Asal tahu saja, memotret makanan dan minuman agar membangkitkan
selera membutuhkan trik-trik khusus. Selain agar hasil foto lebih
sempurna, banyak hal teknis yang harus menjadi pertimbangan.
Saat memotret produk es krim, misalnya, fotografer tidak memakai es
krim asli. Karena, es akan meleleh terkena panas lampu. “Jadi, kami
membuat adonan yang mirip es krim aslinya, walau tidak bisa dimakan,”
katanya.
Untuk mendapatkan efek cipratan air sirup, Chandra bilang, ia juga
butuh waktu lama. Untuk produk susu, ia biasa memakai cat tembok.
Agar fokus di penataan angle dan pencahayaan, biasanya, seorang fotografer menggandeng food stylistsebagai
mitra. Nah, penata saji inilah yang bertanggung jawab menata makanan
agar siap difoto. Mereka juga membantu fotografer mengatur komposisi
objek yang akan difoto. Tentu saja, semuanya harus memperoleh
persetujuan dari klien yang menggunakan jasa mereka.
Iswanto melihat, prospek usaha food photograpy ini masih sangat cerah. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Pertama,
industri makanan di Indonesia semakin berkembang. Sebagai buktinya,
usaha restoran semakin menjamur Kondisi di negara-negara Asia yang lain
juga tak jauh berbeda . Makanya, “Banyak juga permintaan (foto) dari
Thailand dan Malaysia,” kata dia.
Kedua, pemainnya belum banyak. Sebab, tidak banyak orang
yang mau menekuni bisnis ini karena membutuhkan ketelitian dan waktu
yang lebih lama. “Banyak orang yang juga tidak mempunyai passion di kuliner. Kalau mau terjun harus tahu latar belakang kuliner, jadi harus banyak belajar soal makanan,” saran Iswanto.
Daniel Iskandar, fotografer Photopoint juga mengamini pendapat
Iswanto. Maklum, seni fotografi makanan dan minuman memang sangat rumit
dan detail. Jika tidak memiliki passion, si fotografer pasti tak sabar.